Jakarta – Ditengah ketidakpastian perekonomian saat ini yang telah memasuki babak resesi akibat pandemi
cukup meresahkan masyarakat khususnya bagi masyarakat rentan dan miskin. Tidak hanya itu saja,
pemuda-pemudi yang masih dalam kualifikasi produktif turut merasakan dampaknya, mereka yang
berusia 15 tahun sampai dengan 40 tahun namun tidak dapat memiliki pekerjaan atau yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja sebab banyak perusahaan tidak mampu lagi menanggung beban biaya
bahkan harus gulung tikar karena mengalami kebangkrutan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik mengenai Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-
2020 yang dirilis pada tanggal 5 November 2020 memperlihatkan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2020
terhadap Triwulan III-2019 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 3,49% (y-on-y). Dari sisi
produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan
terdalam sebesar 16,70%. Dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami
kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 10,82%. Namun cukup menarik jika dilihat dari sisi yang lain
dimana terdapat peningkatan terhadap Ekonomi Indonesia untuk triwulan III-2020 terhadap triwulan
sebelumnya meningkat sebesar 5,05% (q-to-q).
Ketenagakerjaan di Indonesia juga mengalami penurunan, pada data yang dirilis oleh BPS
tanggal 5 November 2020 menginformasikan adanya penurunan jumlah penduduk yang bekerja
sebanyak 0,31 juta orang dan sebanyak 77,68 juta orang (60,47%) bekerja pada kegiatan informal,
naik 4,59% poin dibanding Agustus 2019 jika dibandingkan pada data Agustus 2019. Yang dimaksud
dengan penduduk yang bekerja di kegiatan informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha
dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tak dibayar,
sedangkan yang bekerja di kegiatan formal mencakup mereka yang berusaha dengan dibantu buruh
tetap dan buruh/karyawan/pegawai. Dalam setahun terakhir, persentase pekerja setengah
penganggur dan persentase pekerja paruh waktu naik masing-masing sebesar 3,77% poin dan 3,42%
poin. Selain itu terdapat 29,12 juta orang (14,28%) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19,
terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (2,56 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena
COVID-19 (0,76 juta orang), sementara tidak bekerja karena COVID-19 (1,77 juta orang), dan
penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (24,03 juta orang).
Memang selama ini, wirausaha dalam bentuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta
Koperasi telah banyak membantu dan menyokong negara ini sebagai penopang ekonomi nasional
untuk bertahan dalam kondisi krisis seperti contohnya sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun
1998 dan 2008 lalu. Setidaknya terdapat lebih dari 64 juta unit UMKM yang berkontribusi 97%
terhadap total tenaga kerja dan 60% PDB nasional. Tetapi berbeda dengan yang terjadi saat ini, sektor
UMKM justru yang terkena dampak buruk akibat pandemi COVID – 19 berupa penurunan hasil/omset
bahkan banyak yang sampai harus menutup usahanya. Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) sempat memperkirakan dimana setelah September 2020, UMKM akan
mengalami krisis sehingga membuat setengah dari seluruh jumlah UMKM mengalami kebangkrutan.
Beriringan dengan kondisi di atas, saat ini Indonesia sedang digemparkan dengan pengesahan
Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 (UU Cipta Kerja) yang telah ditandatangani oleh
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 November 2020 lalu. Salah satu alasan utama dari
Pemerintah dalam membuat peraturan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapakang kerja di Indonesia. Apabila dihubungkan dengan target Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2020 – 2024 (RPJMN 2020 – 2024) maka UU Cipta Kerja setidak-tidaknya
harus mampu mendukung Pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja sebanyak 2,7 – 3 juta orang
dalam satu tahun. UU Cipta Kerja juga harus bisa memberikan daya ungkit yang signfikan terhadap
tercapainya target pertumbuhan wirausaha baru sebanyak 5% dan pertumbuhan volume usaha
Koperasi sebanyak 25% pada tahun 2024 sebagaimana yang ditergetkan dalam RPJMN 2020 – 2024.
Apabila dilihat dari isi UU Cipta Kerja yang diakses dari laman www.setneg.go.id pada tanggal 7
November 2020, maka salah satu alasan dibuatnya peraturan tersebut adalah untuk memberikan
kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap UMKM dan Koperasi termasuk untuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Tetapi apakah alasan tersebut benar-benar
telah diakomodir dengan tepat dalam isi UU Cipta Kerja, yang mana hal ini seharusnya menjadi pusat
perhatian kita bersama. UU Cipta Kerja memang sudah banyak memberikan aturan mengenai
Perizinan Berusaha, namun apakah pengaturan tentang Perizinan Berusaha tersebut juga mencakup
sampai pada lingkup perizinan pemasaran dan penjualan seperti antara lain Izin Edar yang dikeluarkan
oleh Badan pengawas Obat dan Makanan atau sertifikasi tertentu yang dikeluarkan oleh Badan
Sertifikasi Nasional karena kedua hal tersebut sangat dibutuhkan oleh UMKM terutama dalam
melakukan penjualan makanan dan minuman olahan baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.
Ya, Izin Edar BPOM dan sertifikasi dari BSN merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang
keberhasilan UMKM dalam berdagang karena dengan kedua hal tersebut maka para pengusaha
UMKM dapat melakukan pemasaran dan penjualan produk-produknya dengan aman dan dengan
jangkauan yang lebih luas. Perizinan tersebut memang terbukti bisa membantu penguatan UMKM
dengan meningkatkan mutu produk barang dan jasanya sehingga lebih diminati oleh pembeli /
pengguna.
Merujuk pada peraturan yang berlaku diketahui bahwa Izin Edar BPOM merupakan izin yang wajib
dimiliki oleh pengusaha yang bergerak di bidang produk makanan/minuman olahan dan obat-obatan.
Salah satu contohnya adalah dalam hal penjualan produk makanan olahan seperti frozen food yang
sedang naik daun belakangan ini. Produk frozen food merupakan produk makanan olahan yang biasa
dijual oleh UMKM baik melalui aplikasi digital maupun penjualan dengan cara konvensional yaitu
dengan menawarkan secara langsung kepada pembeli di pasar. Menurut ketentuan dalam Pasal 1
angka 19 Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan jo Peraturan BPOM No. 22 Tahun 2018
tentang Pemberian Sertifikat Industri Rumah Tangga, maka perlu untuk mendapat izin dari BPOM
terlebih dahulu apabila ingin dipasarkan dan dijual secara bebas ke masyarakat berupa izin BPOM-
MD. Tentu saja proses untuk mendapatkan izinnya perlu melewati beberapa persyaratan dan juga
membayar biaya sejumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh BPOM. Realitanya
sampai saat ini banyak UMKM yang mengalami kendala dalam mendapatkan izin edar BPOM, baik
karena tidak sanggup memenuhi spesifikasi persyaratan yang diberikan ataupun terkendala dalam
pembiayaan untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh BPOM. Begitupun dengan sertifikasi BSN
berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) yang besaran biayanya ditetapkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 2018. Pengusaha UMKM banyak mengeluhkan dengan tingginya biaya
yang ditetapkan dalam peraturan tersebut karena harus mengeluarkan biaya dengan total sampai
bernilai jutaan rupiah terlebih dahulu untuk mendapatkan sertifikasi SNI.
Dikarenakan hal-hal tersebut maka masih banyak sekali UMKM yang belum memiliki izin-izin yang
diperlukan itu sehingga membuat kegiatan usaha mereka tidak banyak mengalami peningkatan dan
pengakuan untuk bersaing dengan produk-produk sejenis di pasar global. Untuk itu sangat dibutuhkan
terobosan baru yang tepat sasaran dari Pemerintah terkait dengan kemudahan perizinan yang
dimaksud dalam UU Cipta Kerja agar mampu menyentuh pada semua sektor perizinan yang
dibutuhkan oleh UMKM sehingga mereka dapat mempunyai daya saing unggul berskala global,
termasuk pada perizinan BPOM dan sertifikasi SNI. Dengan penguatan UMKM yang demikian
diharapkan mampu meningkatkan kualitas produk sehingga diminati oleh pembeli/pengguna baik
skala nasional maupun global dalam rangka mempercepat UMKM naik kelas. Dengan UMKM naik
kelas itu kemudian bisa menyediakan banyak lapangan kerja terutama bagi para pemuda-pemudi yang
masih berusia produktif agar tidak menganggur. Jika UMKM bisa mendapatkan kemudahan dan
kekuatan untuk lebih berdaya dalam menghadapi pandemi COVID – 19, manfaatnya besarnya adalah
membantu lebih banyak dalam menggenjot laju ekspor yang pada akhirnya menciptakan lapangan
kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai target yang dicita-citakan dalam RPJMN 2020
– 2024 dan bahkan RPJP 2005 – 2025.