Sejarah Gerakan Kewirausahaan Nusantara

Bagikan artikel ini

Indonesia memiliki posisi strategis karena diapit oleh benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudra yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Ditambah lagi Indonesia terletak di daerah khatulistiwa. Bahkan 40% Jalur Laut Perdagangan Dunia melewati Indonesia (Investor Daily, Sabtu, 3 Maret 2018).

Kondisi tersebut memberi pengaruh besar bagi watak manusia Indonesia sebagai pedagang. Sejak masa-masa keemasan kerajaan, wilayah Indonesia sudah menjadi salah satu sumber bahan baku kebutuhan perdagangan internasional , yang menyebabkan wilayah Indonesia menjadi “incaran” bangsa-bangsa besar di dunia.

Satu contoh, bagaimana kerajaan Sriwijaya yang wilayah jangkauannya hingga ke Champa (Kamboja). Dan ini bukan hanya sebuah ekspansi kekuasaan, namun ada “sumber kekayaan alam” yang tertentu “dipasarkan” sriwijaya hingga jauh diluar lingkup kerajaannya saat itu.

Kondisi ini menjadikan Negara-Negara tersebut berusaha untuk menguasai kekayaan nusantara. Selama kurang lebih 350 tahun, negara-negara tersebut menjadi penguasa asing yang sangat monopolistik. Pada abad ke-19, seiring pergolakan dan perang di dunia, bangsa yang belum memiliki bentuk negara saat itu mulai bergerak melakukan perlawanan secara ekonomi dan politik.

Baca Juga  Inspirasi Bisnis Saat Pandemi

Bermula dari ekonomi, para pedagang pribumi melakukan penolakkan dan perlawanan terhadap sikap monopolistik. Hasilnya, lahir beberapa gerakan yang bertujuan untuk menyadarkan potensi perdagangan dan membangun kekuatan pribumi. Gerakan yang paling fenomenal adalah Sarekat Dagang Islam (1912) yang dicetuskan H.Samanhudi dan Nahdatul Tujjar, yang secara bahasa berarti “kebangkitan para pedagang, ” pada 1918 oleh KH Hasyim Asy’ari yang juga merupakan cikal-bakal Nahdatul Ulama (NU).

Keduanya merupakan gerakan ekonomi yang cukup membuat negara-negara asing yang ingin menguasai seluruh aspek kekuatan ekonomi menjadi kerepotan. Selain itu, kedua gerakan tersebut kemudian banyak menginspirasi gerakan kebangkitan kewirausahaan di tanah air. Seiring kemerdekaan yang diproklamirkan bangsa Indonesia sehingga menjadi sebuah negara, gerakan penumbuhan jiwa kewirausahaan kemudian menjadi domain negara.

Transformasi jiwa kewirausahaan berjalan masif melalui pendidikan formal maupun informal. Namun dalam pelaksanaan “transformasi” tersebut, semangat wirausaha tidak tumbuh dan didukung oleh pemerintah. Pemerintah dan swasta berjalan masing-masing. Kondisi ini bukannya tidak disadari, muncul gagasan Link and Match pada zaman Menteri Pendidikan Nasional ketika itu, Prof. Dr. Wardiman Djoyonegoro. Segmen utamanya adalah dunia kampus. Dunia kampus diharapkan mampu menjadi pemasok tenaga kerja andal. Tak hanya itu, beberapa tahun kemudian muncul program Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)  yang siap kerja.

Baca Juga  Tips Sukses Saat Magang Pertama Kali Bagi Mahasiswa

Kedua hal tersebut ternyata belum mampu menjadi solusi jitu dalam mengatasi lonjakan pertumbuhan tenaga kerja yang demikian pesat. Di sisi lain, para enterpreneur yang merupakan manusia-manusia kreatif yang mampu mengkreasi lapangan kerja dan menyerap lonjakan tenaga kerja justru kian langka.

“Terjadi gap yang luar biasa, seperti mulut buaya yang menganga, ” imbuh Dr. Indra Uno, Advisor sekaligus pencetus Gerakan OK OCE. “Seharusnya kurva tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja itu berhimpit atau beririsan dan lebih bagus lagi jika lapangan kerja melimpah sehingga para tenaga kerja memiliki choice (pilihan), ” tandasnya.

Kondisi ini, menurutnya terjadi di ibukota. Logikanya, kesenjangan lapangan kerja di ibukota, yang merupakan pusat peredaran permodalan nasional, tidak terjadi. “ini harus dicari shortcut-nya, yakni jika setiap para pekerja baru yang produktif dibekali kemampuan untuk generic income untuk dirinya sendiri,” , cetus Dr.Indra Uno (aw/dbs/edisi perdana-September 2018).

Baca Juga  Manajemen Waktu Secara Efektif


Bagikan artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *